Kelulusan, saat yang ditunggu-tunggu semua mahasiswa. Yang
saya rasakan ketika menjalani masa kuliah adalah ingin lulus secepat-cepatnya,
yang artinya saya akan mengatakan selamat tinggal pada tugas kuliah yang sangat
banyak, pusingnya mencerna isi dari setiap mata kuliah yang begitu padat, juga
menyudahi waktu tidur yang tak menentu karena terlalu sering begadang untuk
menyelesaikan tugas ataupun mempersiapkan ulangan maupun ujian yang akan
dihadapi.
Ditambah dengan hidup seorang diri di kota lain dalam sebuah
kamar kos, itu membuat saya menjadi semakin ingin cepat lulus. Ternyata
kesendirian saya di kamar kos ini justru membantu saya untuk lebih fokus dalam
menyelesaikan tugas akhir. Menjadi anak kuliahan yang bisa hangout dengan teman-teman memang cukup seru, tetapi itu tetap
tidak sedikitpun membuat saya ingin menunda untuk mengakhiri kuliah di tempat
yang cukup banyak diidamkan banyak orang itu, dengan sebuah kelulusan tentunya.
Sampai akhirnya pada akhir September 2015 saya pun mengikuti upacara wisuda.
Semua prosedur terkait dengan kampus sudah selesai dan ijazah
sudah berada di tangan saya. Akhirnya, sekitar dua bulan setelah hari wisuda,
saya pun memutuskan untuk mengemasi semua barang di kamar kos dan kembali kota
asal. Keputusan itu saya ambil dengan cepat setelah bertanya kepada penjaga kos
mengenai waktu terakhir saya bisa stay
di kamar itu tanpa membayar biaya perpanjang sewa kamar. Pastinya cukup
merepotkan membereskan barang yang kian lama semakin beranak-pinak, karena saya
sudah tinggal di kamar itu sekitar 3 tahun.
Orang tua cukup terkejut melihat kepulangan saya dengan
sebuah koper sangat besar. Saya juga berkata bahwa akan datang paket barang
lainnya dan bahwa saya menyudahi kamar kos saya di kota lain itu. Haha, tampak
sedikit gila memang, mengambil sebuah keputusan cukup besar tanpa berkata
apapun sebelumnya. Namun, keputusan itu saya ambil dengan penuh pertimbagan dan
saya yakin bahwa itu adalah keputusan yang paling tepat.
Saya bermaksud memanfaatkan waktu untuk beristirahat sejenak
di kota asal. Melepaskan pikiran dari jenuhnya mengajar kelulusan dan mengurus
semua prosedur terkait, juga dari rasa lelah pindah dari kamar kos yang sudah
ditempati cukup lama. Beberapa minggu kemudian, belum tiba waktu untuk mencari
kerja di kota asal, ternyata ada sebuah kejadian besar lagi dalam hidup saya,
pacar saya dan keluarganya berencana datang ke rumah untuk membahas pernikahan.
Wowww... .
Orang tua mulai panik merencanakan hidangan yang akan
disajikan. Saya pun mulai nervous dengan
kehidupan baru dan segala persiapannya yang akan segera saya hadapi. Hingga
hari kedatangan pacar dan keluarganya tiba, saya masih ikut sibuk membantu orang
tua dan kakak-kakak untuk persiapan menjamu tamu spesial itu.
Layaknya kebiasaan orang Jawa lainnya, mencari hari baik
untuk sebuah pernikahan pun saya lakukan, walaupun menurut agama saya semua
hari adalah baik. Hasilnya ada dua pilihan, pernikahan dilakukan kurang dari
tiga setengah bulan kemudian, atau dilakukan satu tahun kemudian. Orang tua
saya tidak ingin berlama-lama karena enggan terlalu lama berpanik diri dengan
semua keribetan persiapan pernikahan yang selalu digambarkan orang sebagai hari
paling gelisah, panik, runyam, dan ribet dalam kehidupan. Akhirnya, dipilihlah
tanggal pernikahan yang kurang dari tiga setengah bulan dari hari itu. Hahaha, such an amazing desicion right?
Semua persiapan panjang yang telah dibuat sesimpel apapun
masih tetap membuat panik itu mau tidak mau harus sudah selesai, yang artinya
hari-H sudah di depan mata, pernikahan pun berlangsung. Akad nikah penuh haru
dan resepsi di keesokan harinya akhirnya terlalui. Saya, orang tua, dan
kakak-kakak akhirnya dapat bernapas lega.
Kehidupan baru benar-benar dimulai. Sekarang saya menjadi
istri orang. Saya dan suami memutuskan untuk tinggal di kota lain tempat suami
saya bekerja. Saya kembali mengemasi barang-barang yang diperlukan dan kembali
merantau.
Seolah tidak ada yang berbeda, hanya perubahan status single menjadi married. Namun, ternyata itu merupakan perubahan besar, amat sangat
besar. Ada sebuah tanggung jawab penuh yang kini benar-benar berada di tangan
kami berdua, sepasang suami istri yang baru saja menikah. Sesuatu yang seru,
menyenangkan, dan penuh tanggung jawab. Sebuah transisi yang mengantarkan kami
pada kehidupan yang memang benar-benar milik kami seutuhnya.
Pernikahan ini merubah status saya dari pacar seseorang menjadi
istri seseorang. Ya, menjadi seorang istri yang harus berbakti pada suami.
Menjadi seorang istri yang mengabdi kepada suami. Menjadi seorang istri, di
mana seorang suami adalah ladang pahala baginya. Harapan-harapan untuk menjadi
istri yang terbaik bagi suami membawa saya pada sebuah pertanyaan besar, apakah
saya akan sepenuhnya menjadi seorang ibu rumah tangga atau menjadi seorang
wanita karier.
Bagi saya seorang istri yang sepenuhnya menjadi ibu rumah
tangga adalah seseorang yang hebat. Sebagaimana saya melihat sosok ibu saya.
Beliau selalu dapat mengatur keuangan dengan sebaik-baiknya hanya dengan satu
sumber pendapatan. Beliau tahu cara untuk menggunakan skala prioritas, dari
membiayai kebutuhan yang penting, hingga mengesampingkan bersolek agar kondisi keuangan
tetap sehat. Saya kagum dengan hal itu. Seorang ibu rumah tangga juga dapat
mengatur segala urusan di dalam rumah dengan sebaik-baiknya. Seorang ibu rumah
tangga tanpa assistant membuat saya
lebih kagum lagi, karena mereka selalu dapat menyelesaikan semua pekerjaan
rumah yang sangat banyak dan selalu datang silih berganti. Mencuci pakaian,
menyetrika, belanja bahan makanan, memasak, mencuci piring, menyapu, mengepel, membersihkan
perabotan, menata perabotan rumah, memelihara pekarangan, membeli kebutuhan
rumah tangga yang habis, merapikan tempat tidur, dan masih banyak lagi hal-hal
yang dikerjakannya. Luar biasa banyaknya dan itu dikerjakan secara rutin, yang
setelah diselesaikan, maka pekerjaan itu akan harus dilakukan lagi, begitu
seterusnya. Jangan pikir ketika sudah ada assistant
rumah tangga lalu pekerjaan ibu rumah tangga menjadi hilang. Sama sekali
tidak, karena pekerjaan mereka bukanlah hanya pekerjaan yang dapat digantikan
oleh assistant saja. Jangan lupa,
walaupun seharian bergelut dengan pekerjaan rumah tangga, para ibu rumah tangga
ini harus sudah terlihat bersih kembali ketika suami pulang kerja. Sungguh luar
biasa dan sangat mulia apa yang mereka kerjakan itu.
Di sisi lain saya juga kagum dengan seorang wanita karier.
Mereka biasanya berpenampilan lebih kinclong, tampak lebih modern, juga lebih up to date dengan perkembangan dunia
yang terjadi. Saya juga kagum pada mereka, bekerja dari pagi dan tiba di rumah
ketika petang dengan penuh lelah, tetapi harus tetap tersenyum manis ketika
berjumpa suami di saat lelahnya. Mereka mandiri secara finansial, sehingga
dapat lebih leluasa menggunakan pendapatannya. Dengan keringatnya, kuangan
keluarga tidak hanya berasal dari satu sumber penghasilan saja. Ada keinginan
untuk menjadi seperti mereka, memiliki pergaulan yang luas, lebih luwes ketika berjumpa orang baru, dapat
menikmati menu-menu lucu ala wanita dengan menggunakan uang yang dihasilkan
sendiri.
Kalau bicara tentang kata orang, ada bermacam-macam pula
yang didengar dari telinga para ibu ini. Kata orang jika seorang ibu rumah
tangga sedang merasa lelah atau sibuk seringnya begini “Emangnya di rumah
ngapain aja sih sampai capek gitu?”. It
sounds like seorang ibu rumah tangga di rumah itu hanya bermain game di tablet selama menunggu suaminya
pulang kerja, a little bit hurting right?
Just take it easy, mom :). Seorang wanita
karier pun juga tidak luput dari komentar orang, ada juga orang yang berkata, “Jika
kamu lebih banyak di kantor, bagaimana kamu dapat mengurus anak dan suami?”,
tentunya kalimat ini bisa membuat seorang wanita karier sangat sedih. Jika ada sesorang
dengan latar belakang pendidikan yang baik memutuskan untuk menjadi seorang ibu
rumah tangga, maka akan banyak orang yang berkata “Kamu udah kuliah tinggi di
universitas ternama, tapi hanya menjadi ibu rumah tangga saja apa nggak sayang?”,
nah lo, galau gak itu kalau terdengar kalimat ini. Haha, don’t worry about it. Apapun kata orang memang tidak bisa untuk
tidak didengarkan, tetapi masih bisa untuk diabaikan. Mereka bisa berbicara,
tetapi mereka tidak bisa bertanggung jawab atas hidupmu. Jadi aspek kata orang
ini bisa diabaikan untuk pengambilan keputusan penting dalam hidup.
Ya, merupakan keputusan yang cukup sulit bagi saya
untuk menentukan apakah akan menjadi
seorang ibu rumah tangga sepenuhnya atau menjadi seorang wanita karier.
Keduanya memiliki hal-hal yang saya kagumi dan sama-sama memiliki tantangan.
Saya rasa untuk menentukan mana yang akan saya pilih, saya harus dapat
menemukan nilai plus dari salah satunya
yang benar-benar dapat mengungguli pilihan yang lain. Tentunya dengan tetap
memastikan bahwa pilihan itu sesuai dengan karakter saya juga tetap dapat
memberikan kebahagiaan yang penuh bagi suami. Bagaimanapun juga suami adalah
sumber pahala seorang istri.
Semoga apapun pilihan saya dapat menjadi pilihan yang
terbaik, aamiin :)