Selasa, 31 Maret 2020

Dilema Harus #dirumahaja

Saat ini aku adalah seorang ibu dengan satu anak berusia dua setengah tahun. Setiap senin hingga jumat suami kerja kantoran. Berangkat pagi dan pulangnya sudah malam.

#dirumahaja memang sudah keseharianku. Belanja untuk keperluan memasak setiap seminggu atau dua minggu sekali juga sudah biasa. Memang tidak ada tukang sayur lewat di sekitar rumah. Pedagang makanan juga tidak lewat.

Mungkin seharusnya tidak ada perubahan untuk menghadapi situasi seperti saat ini. Ketika kita semua harus melakukan social distancing dengan #dirumahaja untuk memperlambat penyebaran virus corona atau Covid-19. Namun, nyatanya aku tetap stres.

Mengapa? Beberapa hari yang lalu, aku terpaksa harus keluar untuk membeli beberapa keperluan yang habis. Tidak seperti biasanya, telur di minimarket dekat rumah habis. Air dalam kemasan galon sangat sulit dicari. Aku punya dua galon kosong, tetapi hanya berhasil membeli satu. Semua minimarket dekat rumah kehabisan. Aku juga melihat dagangan di tukang sayur sudah tak lengkap lagi. Sayuran yang ada pun banyak yang layu.

Bagaimana bisa tetap bertenang diri menghadapi semua itu? Aku masih bersyukur karena suami kerja kantoran dan digaji setiap bulan. Namun, terbayang nasib mereka para pedagang yang terpaksa harus tutup. Artinya, tidak ada penghasilan.

Pasti banyak yang tahu bahwa harga pangan metropolitan itu lebih mahal daripada daerah. Lantas bagaimana cara mereka bertahan?

Di satu sisi mereka tidak ingin pulang ke daerah asal karena takut bila ternyata membawa virus dalam tubuhnya. Di sisi lain, mereka juga tidak tahu kapan ini semua selesai. Apakah uang tabungan masih cukup untuk menghidupi diri dan keluarga sampai semua ini usai? Ataukah justru hidup mereka yang terpaksa harus berakhir?

Mereka pun terpaksa memilih untuk pulang kampung. Biaya hidup di sana jauh lebih murah. Namun, apakah mereka sanggup untuk mengisolasi diri selama 14 hari setelah kedatangannya?

Saat seorang kaya raya harus mengisolasi diri di dalam kamar, mungkin itu bisa saja dilakukan. Ada kamar mandi di dalam kamar. Makanan sudah disiapkan oleh asisten rumah tangga di depan pintu.

Bagaimana dengan kaum menengah ke bawah? Dapatkah melakukan itu? Satu kamar mandi biasanya digunakan bersama seisi rumah. Sulit juga bila harus berdiam diri di kamar tanpa kontak dengan orang rumah. Dia mungkin tidak keluar rumah. Akan tetapi, orang tuanya mungkin tiba-tiba perlu untuk keluar rumah saat sadar ternyata minyak goreng habis.

Bisa juga semua orang dalam rumah tersebut sudah mempersiapkan diri dengan baik tanpa ada apa pun yang kurang untuk hidup selama 14 hari. Namun, perantau yang pulang ke rumah langsung mencium tangan kedua orang tuanya saat datang. Bila ternyata tubuhnya membawa virus, bisa saja orang tuanya tertular.

Lelah rasanya memikirkan itu semua. Aku cuma manusia biasa yang hanya bisa berdoa kepada Sang Pemilik Semesta. Memohon agar semua ini segera berakhir dengan bahagia. Semoga pemerintah tidak salah dalam melangkah. Semoga kita dapat mengambil keputusan yang tepat, baik untuk diri, keluarga, dan seluruh penghuni dunia. Semoga dunia ini normal kembali seperti sedia kala. Aamiin.

Menyapih dengan Rela (Last Part)

Langsung kita lanjutkan postingan sebelumnya, yaitu Menyapih dengan Rela (Part 3) . Sakit membuatnya jauh dari kata nyaman. Nafsu makan pun ...