Minggu, 24 Juli 2016

It’s My Transition, dari Mahasiswi Menjadi Istri Orang

Kelulusan, saat yang ditunggu-tunggu semua mahasiswa. Yang saya rasakan ketika menjalani masa kuliah adalah ingin lulus secepat-cepatnya, yang artinya saya akan mengatakan selamat tinggal pada tugas kuliah yang sangat banyak, pusingnya mencerna isi dari setiap mata kuliah yang begitu padat, juga menyudahi waktu tidur yang tak menentu karena terlalu sering begadang untuk menyelesaikan tugas ataupun mempersiapkan ulangan maupun ujian yang akan dihadapi.

Ditambah dengan hidup seorang diri di kota lain dalam sebuah kamar kos, itu membuat saya menjadi semakin ingin cepat lulus. Ternyata kesendirian saya di kamar kos ini justru membantu saya untuk lebih fokus dalam menyelesaikan tugas akhir. Menjadi anak kuliahan yang bisa hangout dengan teman-teman memang cukup seru, tetapi itu tetap tidak sedikitpun membuat saya ingin menunda untuk mengakhiri kuliah di tempat yang cukup banyak diidamkan banyak orang itu, dengan sebuah kelulusan tentunya. Sampai akhirnya pada akhir September 2015 saya pun mengikuti upacara wisuda.

Semua prosedur terkait dengan kampus sudah selesai dan ijazah sudah berada di tangan saya. Akhirnya, sekitar dua bulan setelah hari wisuda, saya pun memutuskan untuk mengemasi semua barang di kamar kos dan kembali kota asal. Keputusan itu saya ambil dengan cepat setelah bertanya kepada penjaga kos mengenai waktu terakhir saya bisa stay di kamar itu tanpa membayar biaya perpanjang sewa kamar. Pastinya cukup merepotkan membereskan barang yang kian lama semakin beranak-pinak, karena saya sudah tinggal di kamar itu sekitar 3 tahun.

Orang tua cukup terkejut melihat kepulangan saya dengan sebuah koper sangat besar. Saya juga berkata bahwa akan datang paket barang lainnya dan bahwa saya menyudahi kamar kos saya di kota lain itu. Haha, tampak sedikit gila memang, mengambil sebuah keputusan cukup besar tanpa berkata apapun sebelumnya. Namun, keputusan itu saya ambil dengan penuh pertimbagan dan saya yakin bahwa itu adalah keputusan yang paling tepat.

Saya bermaksud memanfaatkan waktu untuk beristirahat sejenak di kota asal. Melepaskan pikiran dari jenuhnya mengajar kelulusan dan mengurus semua prosedur terkait, juga dari rasa lelah pindah dari kamar kos yang sudah ditempati cukup lama. Beberapa minggu kemudian, belum tiba waktu untuk mencari kerja di kota asal, ternyata ada sebuah kejadian besar lagi dalam hidup saya, pacar saya dan keluarganya berencana datang ke rumah untuk membahas pernikahan. Wowww... .

Orang tua mulai panik merencanakan hidangan yang akan disajikan. Saya pun mulai nervous dengan kehidupan baru dan segala persiapannya yang akan segera saya hadapi. Hingga hari kedatangan pacar dan keluarganya tiba, saya masih ikut sibuk membantu orang tua dan kakak-kakak untuk persiapan menjamu tamu spesial itu.

Layaknya kebiasaan orang Jawa lainnya, mencari hari baik untuk sebuah pernikahan pun saya lakukan, walaupun menurut agama saya semua hari adalah baik. Hasilnya ada dua pilihan, pernikahan dilakukan kurang dari tiga setengah bulan kemudian, atau dilakukan satu tahun kemudian. Orang tua saya tidak ingin berlama-lama karena enggan terlalu lama berpanik diri dengan semua keribetan persiapan pernikahan yang selalu digambarkan orang sebagai hari paling gelisah, panik, runyam, dan ribet dalam kehidupan. Akhirnya, dipilihlah tanggal pernikahan yang kurang dari tiga setengah bulan dari hari itu. Hahaha, such an amazing desicion right?

Semua persiapan panjang yang telah dibuat sesimpel apapun masih tetap membuat panik itu mau tidak mau harus sudah selesai, yang artinya hari-H sudah di depan mata, pernikahan pun berlangsung. Akad nikah penuh haru dan resepsi di keesokan harinya akhirnya terlalui. Saya, orang tua, dan kakak-kakak akhirnya dapat bernapas lega.
Kehidupan baru benar-benar dimulai. Sekarang saya menjadi istri orang. Saya dan suami memutuskan untuk tinggal di kota lain tempat suami saya bekerja. Saya kembali mengemasi barang-barang yang diperlukan dan kembali merantau.

Seolah tidak ada yang berbeda, hanya perubahan status single menjadi married. Namun, ternyata itu merupakan perubahan besar, amat sangat besar. Ada sebuah tanggung jawab penuh yang kini benar-benar berada di tangan kami berdua, sepasang suami istri yang baru saja menikah. Sesuatu yang seru, menyenangkan, dan penuh tanggung jawab. Sebuah transisi yang mengantarkan kami pada kehidupan yang memang benar-benar milik kami seutuhnya.

Pernikahan ini merubah status saya dari pacar seseorang menjadi istri seseorang. Ya, menjadi seorang istri yang harus berbakti pada suami. Menjadi seorang istri yang mengabdi kepada suami. Menjadi seorang istri, di mana seorang suami adalah ladang pahala baginya. Harapan-harapan untuk menjadi istri yang terbaik bagi suami membawa saya pada sebuah pertanyaan besar, apakah saya akan sepenuhnya menjadi seorang ibu rumah tangga atau menjadi seorang wanita karier.

Bagi saya seorang istri yang sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga adalah seseorang yang hebat. Sebagaimana saya melihat sosok ibu saya. Beliau selalu dapat mengatur keuangan dengan sebaik-baiknya hanya dengan satu sumber pendapatan. Beliau tahu cara untuk menggunakan skala prioritas, dari membiayai kebutuhan yang penting, hingga mengesampingkan bersolek agar kondisi keuangan tetap sehat. Saya kagum dengan hal itu. Seorang ibu rumah tangga juga dapat mengatur segala urusan di dalam rumah dengan sebaik-baiknya. Seorang ibu rumah tangga tanpa assistant membuat saya lebih kagum lagi, karena mereka selalu dapat menyelesaikan semua pekerjaan rumah yang sangat banyak dan selalu datang silih berganti. Mencuci pakaian, menyetrika, belanja bahan makanan, memasak, mencuci piring, menyapu, mengepel, membersihkan perabotan, menata perabotan rumah, memelihara pekarangan, membeli kebutuhan rumah tangga yang habis, merapikan tempat tidur, dan masih banyak lagi hal-hal yang dikerjakannya. Luar biasa banyaknya dan itu dikerjakan secara rutin, yang setelah diselesaikan, maka pekerjaan itu akan harus dilakukan lagi, begitu seterusnya. Jangan pikir ketika sudah ada assistant rumah tangga lalu pekerjaan ibu rumah tangga menjadi hilang. Sama sekali tidak, karena pekerjaan mereka bukanlah hanya pekerjaan yang dapat digantikan oleh assistant saja. Jangan lupa, walaupun seharian bergelut dengan pekerjaan rumah tangga, para ibu rumah tangga ini harus sudah terlihat bersih kembali ketika suami pulang kerja. Sungguh luar biasa dan sangat mulia apa yang mereka kerjakan itu.

Di sisi lain saya juga kagum dengan seorang wanita karier. Mereka biasanya berpenampilan lebih kinclong, tampak lebih modern, juga lebih up to date dengan perkembangan dunia yang terjadi. Saya juga kagum pada mereka, bekerja dari pagi dan tiba di rumah ketika petang dengan penuh lelah, tetapi harus tetap tersenyum manis ketika berjumpa suami di saat lelahnya. Mereka mandiri secara finansial, sehingga dapat lebih leluasa menggunakan pendapatannya. Dengan keringatnya, kuangan keluarga tidak hanya berasal dari satu sumber penghasilan saja. Ada keinginan untuk menjadi seperti mereka, memiliki pergaulan yang luas, lebih luwes ketika berjumpa orang baru, dapat menikmati menu-menu lucu ala wanita dengan menggunakan uang yang dihasilkan sendiri.

Kalau bicara tentang kata orang, ada bermacam-macam pula yang didengar dari telinga para ibu ini. Kata orang jika seorang ibu rumah tangga sedang merasa lelah atau sibuk seringnya begini “Emangnya di rumah ngapain aja sih sampai capek gitu?”. It sounds like seorang ibu rumah tangga di rumah itu hanya bermain game di tablet selama menunggu suaminya pulang kerja, a little bit hurting right? Just take it easy, mom :). Seorang wanita karier pun juga tidak luput dari komentar orang, ada juga orang yang berkata, “Jika kamu lebih banyak di kantor, bagaimana kamu dapat mengurus anak dan suami?”, tentunya kalimat ini bisa membuat seorang wanita karier sangat sedih. Jika ada sesorang dengan latar belakang pendidikan yang baik memutuskan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga, maka akan banyak orang yang berkata “Kamu udah kuliah tinggi di universitas ternama, tapi hanya menjadi ibu rumah tangga saja apa nggak sayang?”, nah lo, galau gak itu kalau terdengar kalimat ini. Haha, don’t worry about it. Apapun kata orang memang tidak bisa untuk tidak didengarkan, tetapi masih bisa untuk diabaikan. Mereka bisa berbicara, tetapi mereka tidak bisa bertanggung jawab atas hidupmu. Jadi aspek kata orang ini bisa diabaikan untuk pengambilan keputusan penting dalam hidup.

Ya, merupakan keputusan yang cukup sulit bagi saya untuk  menentukan apakah akan menjadi seorang ibu rumah tangga sepenuhnya atau menjadi seorang wanita karier. Keduanya memiliki hal-hal yang saya kagumi dan sama-sama memiliki tantangan. Saya rasa untuk menentukan mana yang akan saya pilih, saya harus dapat menemukan nilai plus dari  salah satunya yang benar-benar dapat mengungguli pilihan yang lain. Tentunya dengan tetap memastikan bahwa pilihan itu sesuai dengan karakter saya juga tetap dapat memberikan kebahagiaan yang penuh bagi suami. Bagaimanapun juga suami adalah sumber pahala seorang istri.

Semoga apapun pilihan saya dapat menjadi pilihan yang terbaik, aamiin :) 




Menyapih dengan Rela (Last Part)

Langsung kita lanjutkan postingan sebelumnya, yaitu Menyapih dengan Rela (Part 3) . Sakit membuatnya jauh dari kata nyaman. Nafsu makan pun ...